Pulau Sejarah
“yeah, aku menang” teriakku seketika itu saat aku bias memenangkan
pertandingan hari ini.
“yah deh, hari ini kamu memang
bias menang. Tapi di pertandingan mendatang aku yang menang” kata Revan sambil
tersenyum lebar.
“okey siapa takut” jawabku
sambil membalas senyum Revan.
Yaps, hari ini aku dan Revan
sedang bermain ular tangga. Permainan tradisional yang selalu membuatku
terpukau. Karena, permainan ini seperti cerminan kehidupan manusia. Bahwa
setiap kehidupan tidaklah berjalan lurus, akan tetapi banyak tantangan di
dalamnya.
“aku pulang dulu yah, Re” kata
Revan setelah membantuku berkemas – kemas.
“iya van, hati – hati yah”
jawabku sambil mengedipkan mata.
“iya, besok aku antar yah ke
bandara” sahut Revan yang aku balas dengan anggukan kepala.
Keesokan harinya …
Sang mentari telah menempati
singgah sananya. Aku kembali mengecek barang – barang yang akan aku bawa. Yaps,
nanti sore aku akan pergi ke Kalimantan. Pulau yang menyimpan begitu banyak
misteri, dan beragam keindahan budaya yang ada di dalamnya. Mulai lusa, aku
akan menjalani masa abdiku sebagai seorang dokter gigi.
Setelah menjalani 3,5 tahun pendidikan formalku, akhirnya tiba juga masa
abdi yang sangat aku tunggu – tunggu. Masa abdi yang membuatku deg – degan tiap
menjelangnya. Aku memilih pulau Kalimantan di masa abdiku kali ini. Berbeda
dengan teman – temanku yang lain, aku adalah satu – satunya calon dokter yang
memilih tempat di luar pulau jawa.
Aku mempunyai alasan yang kuat, mengapa aku harus mengabdi di sana?
Karena di pulau tersebut, masyarakatnya masih memegang teguh suku bangsa dan
agama warisan nenek moyang, begitu pula dengan tradisi dan kebiasaannya. Aku
yakin di pulau tersebut masih banyak orang yang tidak tahu cara menggosok gigi,
atau bahkan tidak menggosok gigi sama sekali. Dengan kehadiranku di sana, aku
berharap masyarakat bias merubah pola piker dan kebiasaannya tersebut.
Tepat pukul
15.00 WIB …
“bagaimana bu dokter, apakah
anda sudah siap berangkat?” kata Revan mengejutkanku.
“sudah pak direktur” balasku
sambil bersikap hormat.
Revan langsung memasukkan barang
– barang bawaanku kedalam mobil. Aku dan Revan bersalaman dengan kedua orang
tuaku. Sebenarnya, aku sangat berat sekali melangkahkan kakiku pergi menuju
bandara. Karena aku harus meninggalkan Ibuku yang sedang menjalani masa terapi.
Aku ingin sekali menemani Ibuku untuk terapi di rumah sakit, berhubung aku
harus menjalankan masa abdiku untuk 1,5 tahun mendatang. Jadi, aku hanya bisa
menitipkan pesan kepada kakakku dan berkomunikasi lewat telefon genggam.
Sesampainya di bandara, Revan
langsung menurunkan barang – barangku dari dalam mobil dan membawakannya sampai
pintu masuk. Setelah jam keberangkatan pesawatku tiba, aku pun bersalaman dan
berpamitan dengan Revan, dan aku
menitipkan pesan kepadanya.
“Van, aku berangkat dulu yah.
Aku titip kedua orang tuaku padamu” kataku sambil mengusap air mataku.
“hati – hati yah Re, aku akan
mengingat pesanmu selalu. Jangan lupa salat dan makan dengan teratur yah. Kalau
sudah sampai tempat tujuan, jangan lupa hubungi aku dan kedua orang tuamu” jawab
Revan menasehatiku sambil membelai kepalaku dan memberiku senyuman terakhir.
“iya bawel” kataku sambil
tersenyum lebar.
Pesawat membawaku terbang hampir
4 jam lamanya. Aku pun tiba di penginapan dekat puskesmas tempat aku mengabdi
nanti. Membersihkan tubuhku dan pergi makan malam tak lupa salat isya, kegiatan
pertama yang aku lakukan sesampainya di sana. Setelah itu aku menelfon kedua
orang tuaku dan tak tertinggal sahabatku yang super cerewet si Revan. Hampir 3
jam aku berkomunikasi dengan mereka. Rasa ngantuk pun mulai melanda, bak virus
baru yang cepat sekali memakan seluruh saraf – saraf di tubuhku. Aku pun
bergegas untuk pergi tidur, setelah menggosok gigi dan mencuci muka serta
kakiku.
Keesokan harinya
…
Kali ini mentari kembali
memberikan senyum indahnya kepadaku. Aku sangat bersemangat hari ini untuk
pergi ke puskesmas tempat aku mengabdi. Setelah bersiap – siap, aku pun di
jemput oleh seorang ibu – ibu, kepala puskesmas di dusun tersebut. Betapa
terkejutnya aku ketika aku mengetahui bahwa puskesmas yang menjadi tempat
kerjaku sangatlah kotor. Karena sebab itulah penduduk di sekitarnya pun sering
sakit – sakitan.
“Apakah tidak ada petugas
kebersihan di puskesmas ini, Bu?” tanyaku tegas kepada Bu Irma.
“Maaf dok tidak ada” jawab Bu
Irma gugup.
“Bagaimana pasien mau sembuh
kalau tempat berobatnya sekotor ini?” sahutku.
“Lantas apa yang harus saya
lakukan?” tanya Bu Irma.
“Ibu tidak perlu melakukan
apapun. Pasien akan saya bawa ke penginapan jika mereka ingin berobat masalah
kesehatan gigi” jawabku sambil melangkahkan kaki kembali ke penginapan.
“Baik dok” jawab Bu Irma.
Setap hari aku bertemu dengan
pasien dengan bermacam – macam keluhan masalah gigi. Dan aku melewati itu semua
selama satu tahun. Tapi yang membuatku terpana adalah Amak Kanti. Di usianya
yang sudah tua dia tak pernah mengeluh soal kesehatan giginya. Ketika aku
sarankan periksa kepadaku, awalnya Amak Kanti menolaknya. Tapi karena aku
keluarkan jurus jituku ketika merayu, akhirnya Amak Kanti pun mau memeriksakan
kesehatan giginya.
Yang membuatku lebih terkejut,
ternyata gigi Amak Kanti memang telah rusak semua. Giginya berlubang dan
beberapa berwarna hitam. Tapi anehnya tidak sekalipun Amak Kanti merasakan
sakit ketika makan ataupun minum. Memang hebat deh, tidak pernah menggosok gigi
dan hanya merawatnya dengan daun sirih. Membuatku ingin bereksperimen dengan daun sirih tersebut.
Setelah berpamitan dengan semua
warga akhirnya aku pun pergi ke bandara dan langsung terbang ke Surabaya.
Sesampainya di Surabaya, di depan rumahku aku melihat bendera kuning berkibar
terang di depan mataku. Aku pun terkejut, dan mulai memikirkan hal – hal yang
tidak – tidak. Saat sampai di ruang tamu, aku melihat sosok wanita yang aku
cintai terbaring kaku tak berdaya di hadapanku. Kakiku lemas seperti tak
bertulang, dadaku sakit, sakit sekali.
Aku pun merangkak dan mencoba
mendekati jasad Ibuku, aku peluk dan aku rintihkan air mataku ketika ada di
hadapannya.
“Ibu, kenapa Ibu secepat itu
pergi? Kenapa Ibu tak menyambut dan menjemputku di bandara? Kenapa bu? Kenapa?”
teriakku sambil menitihkan air mata.
“Apa Ibu tak ingin melihatku
dilantik sebagai seorang dokter? Apa Ibu tak ingin melihat aku mengenakan juba
putih? Apa Ibu tak ingin mendampingiku saat wisuda? Jawab Bu, jawab” kataku
sambil menggoyangkan jasad Ibundaku.
“Sudahlah Re, ikhlaskan
kepergian Ibumu. Insyaallah, Ibumu akan mendapatkan tempat terbaik di sisinya”
kata Revan sambil memeluk dan mengusap air mataku.
Setelah di mandikan dan di
salatkan, jasad Ibuku pun di bawa dan di semayamkan di pemakaman keluarga tak
jauh dari rumahku. Aku dan keluargaku pun kembali ke rumah, aku melangkah
dengan kaki yang sedikit agak lemas. Sesampainya di rumah aku di bawa ke kamar
oleh Revan, dan sebelum pulang dia memberiku sebuah amplop, dia tak
memberitahukan aku sedikitpun apa isi dari amplop tersebut.
Isi surat
Ibu…
“Selesaikan permainan ini sampai
akhir yahh saying. Maaf Bunda tidak bisa menemani kamu. Semangat yah Reyneta,
Bunda sayang kamu.”
~Bundamu tersayang~
Beberapa
bulan kemudian …
Hari ini tibalah saat yang
mendebar – debarkan buatku dan teman – temanku di FKG. Yaps, hari ini adalah
hari wisudaku, aku deg – degan karena tak sabar menantikan siapa mahasiswa
terbaik tahun ini? Aku pergi bersama Ayah dan Revan, sebenarnya aku juga
mengundang kakakku. Tapi, dia sedang memiliki pekerjaan yang tidak bisa di
tinggalkan di luar kota. Jadi, aku mengikhlaskan kakak kesayanganku itu untuk
pergi.
Tiba saatnya
pengumuman …
Namaku di panggil sebagai
mahasiswi terbaik tahun ini aku senang sekali. Ini sebagai pembuktianku kepada
Ibu bahwa aku bisa menjadi anak yang patut beliau banggakan.
“Bunda, meskipun Bunda tidak bisa menyaksikanku di sini. Tapi aku yakin
di surga, Bunda pasti tersenyum untukku. Bunda aku janji aku akan jadi Dokter
yang berbakti kepada Tuhan, Negara dan kedua orang tuaku, aku akan buat Bunda
lebih bangga kepadaku. Bunda lihat, aku bisa menangkan permainan ular tangga
ini sampai akhir, menjalankan segala tantangannya dengan baik. Makasih Bunda
sudah memberiku semangat. Doamulah yang menghantarkanku ke gerbang kesuksessan.
Aku saying kamu Bunda” kataku dalam hati ketika memegang tropi kemenanganku.
Beberapa minggu kemudian aku di panggil oleh salah satu rumah sakit
Internasional dan diminta menjadi Dokter
gigi di sana. Selama beberapa tahun bekerja aku menerima upah yang tidak
sedikit, sebagian dari kerja kerasku itu aku kirimkan ke puskesmas di
Kalimantan, tempat mengabdiku dulu.