Kamis, 17 Januari 2013

Pulau Sejarah

Pulau Sejarah

“yeah, aku menang” teriakku seketika itu saat aku bias memenangkan pertandingan hari ini.
                “yah deh, hari ini kamu memang bias menang. Tapi di pertandingan mendatang aku yang menang” kata Revan sambil tersenyum lebar.
                “okey siapa takut” jawabku sambil membalas senyum Revan.
                Yaps, hari ini aku dan Revan sedang bermain ular tangga. Permainan tradisional yang selalu membuatku terpukau. Karena, permainan ini seperti cerminan kehidupan manusia. Bahwa setiap kehidupan tidaklah berjalan lurus, akan tetapi banyak tantangan di dalamnya.
                “aku pulang dulu yah, Re” kata Revan setelah membantuku berkemas – kemas.
                “iya van, hati – hati yah” jawabku sambil mengedipkan mata.
                “iya, besok aku antar yah ke bandara” sahut Revan yang aku balas dengan anggukan kepala.
  Keesokan harinya …
                Sang mentari telah menempati singgah sananya. Aku kembali mengecek barang – barang yang akan aku bawa. Yaps, nanti sore aku akan pergi ke Kalimantan. Pulau yang menyimpan begitu banyak misteri, dan beragam keindahan budaya yang ada di dalamnya. Mulai lusa, aku akan menjalani masa abdiku sebagai seorang dokter gigi.
Setelah menjalani 3,5 tahun pendidikan formalku, akhirnya tiba juga masa abdi yang sangat aku tunggu – tunggu. Masa abdi yang membuatku deg – degan tiap menjelangnya. Aku memilih pulau Kalimantan di masa abdiku kali ini. Berbeda dengan teman – temanku yang lain, aku adalah satu – satunya calon dokter yang memilih tempat di luar pulau jawa.
Aku mempunyai alasan yang kuat, mengapa aku harus mengabdi di sana? Karena di pulau tersebut, masyarakatnya masih memegang teguh suku bangsa dan agama warisan nenek moyang, begitu pula dengan tradisi dan kebiasaannya. Aku yakin di pulau tersebut masih banyak orang yang tidak tahu cara menggosok gigi, atau bahkan tidak menggosok gigi sama sekali. Dengan kehadiranku di sana, aku berharap masyarakat bias merubah pola piker dan kebiasaannya tersebut.
Tepat pukul 15.00 WIB …
                “bagaimana bu dokter, apakah anda sudah siap berangkat?” kata Revan mengejutkanku.
                “sudah pak direktur” balasku sambil bersikap hormat.
                Revan langsung memasukkan barang – barang bawaanku kedalam mobil. Aku dan Revan bersalaman dengan kedua orang tuaku. Sebenarnya, aku sangat berat sekali melangkahkan kakiku pergi menuju bandara. Karena aku harus meninggalkan Ibuku yang sedang menjalani masa terapi. Aku ingin sekali menemani Ibuku untuk terapi di rumah sakit, berhubung aku harus menjalankan masa abdiku untuk 1,5 tahun mendatang. Jadi, aku hanya bisa menitipkan pesan kepada kakakku dan berkomunikasi lewat telefon genggam.
                Sesampainya di bandara, Revan langsung menurunkan barang – barangku dari dalam mobil dan membawakannya sampai pintu masuk. Setelah jam keberangkatan pesawatku tiba, aku pun bersalaman dan berpamitan dengan Revan, dan  aku menitipkan pesan kepadanya.
                “Van, aku berangkat dulu yah. Aku titip kedua orang tuaku padamu” kataku sambil mengusap air mataku.
                “hati – hati yah Re, aku akan mengingat pesanmu selalu. Jangan lupa salat dan makan dengan teratur yah. Kalau sudah sampai tempat tujuan, jangan lupa hubungi aku dan kedua orang tuamu” jawab Revan menasehatiku sambil membelai kepalaku dan memberiku senyuman terakhir.
                “iya bawel” kataku sambil tersenyum lebar.
                Pesawat membawaku terbang hampir 4 jam lamanya. Aku pun tiba di penginapan dekat puskesmas tempat aku mengabdi nanti. Membersihkan tubuhku dan pergi makan malam tak lupa salat isya, kegiatan pertama yang aku lakukan sesampainya di sana. Setelah itu aku menelfon kedua orang tuaku dan tak tertinggal sahabatku yang super cerewet si Revan. Hampir 3 jam aku berkomunikasi dengan mereka. Rasa ngantuk pun mulai melanda, bak virus baru yang cepat sekali memakan seluruh saraf – saraf di tubuhku. Aku pun bergegas untuk pergi tidur, setelah menggosok gigi dan mencuci muka serta kakiku.
Keesokan harinya …
                Kali ini mentari kembali memberikan senyum indahnya kepadaku. Aku sangat bersemangat hari ini untuk pergi ke puskesmas tempat aku mengabdi. Setelah bersiap – siap, aku pun di jemput oleh seorang ibu – ibu, kepala puskesmas di dusun tersebut. Betapa terkejutnya aku ketika aku mengetahui bahwa puskesmas yang menjadi tempat kerjaku sangatlah kotor. Karena sebab itulah penduduk di sekitarnya pun sering sakit – sakitan.
                “Apakah tidak ada petugas kebersihan di puskesmas ini, Bu?” tanyaku tegas kepada Bu Irma.
                “Maaf dok tidak ada” jawab Bu Irma gugup.
                “Bagaimana pasien mau sembuh kalau tempat berobatnya sekotor ini?” sahutku.
                “Lantas apa yang harus saya lakukan?” tanya Bu Irma.
                “Ibu tidak perlu melakukan apapun. Pasien akan saya bawa ke penginapan jika mereka ingin berobat masalah kesehatan gigi” jawabku sambil melangkahkan kaki kembali ke penginapan.
                “Baik dok” jawab Bu Irma.
                Setap hari aku bertemu dengan pasien dengan bermacam – macam keluhan masalah gigi. Dan aku melewati itu semua selama satu tahun. Tapi yang membuatku terpana adalah Amak Kanti. Di usianya yang sudah tua dia tak pernah mengeluh soal kesehatan giginya. Ketika aku sarankan periksa kepadaku, awalnya Amak Kanti menolaknya. Tapi karena aku keluarkan jurus jituku ketika merayu, akhirnya Amak Kanti pun mau memeriksakan kesehatan giginya.
                Yang membuatku lebih terkejut, ternyata gigi Amak Kanti memang telah rusak semua. Giginya berlubang dan beberapa berwarna hitam. Tapi anehnya tidak sekalipun Amak Kanti merasakan sakit ketika makan ataupun minum. Memang hebat deh, tidak pernah menggosok gigi dan hanya merawatnya dengan daun sirih. Membuatku ingin bereksperimen dengan daun sirih tersebut.
                Setelah berpamitan dengan semua warga akhirnya aku pun pergi ke bandara dan langsung terbang ke Surabaya. Sesampainya di Surabaya, di depan rumahku aku melihat bendera kuning berkibar terang di depan mataku. Aku pun terkejut, dan mulai memikirkan hal – hal yang tidak – tidak. Saat sampai di ruang tamu, aku melihat sosok wanita yang aku cintai terbaring kaku tak berdaya di hadapanku. Kakiku lemas seperti tak bertulang, dadaku sakit, sakit sekali.
                Aku pun merangkak dan mencoba mendekati jasad Ibuku, aku peluk dan aku rintihkan air mataku ketika ada di hadapannya.
                “Ibu, kenapa Ibu secepat itu pergi? Kenapa Ibu tak menyambut dan menjemputku di bandara? Kenapa bu? Kenapa?” teriakku sambil menitihkan air mata.
                “Apa Ibu tak ingin melihatku dilantik sebagai seorang dokter? Apa Ibu tak ingin melihat aku mengenakan juba putih? Apa Ibu tak ingin mendampingiku saat wisuda? Jawab Bu, jawab” kataku sambil menggoyangkan jasad Ibundaku.
                “Sudahlah Re, ikhlaskan kepergian Ibumu. Insyaallah, Ibumu akan mendapatkan tempat terbaik di sisinya” kata Revan sambil memeluk dan mengusap air mataku.
                Setelah di mandikan dan di salatkan, jasad Ibuku pun di bawa dan di semayamkan di pemakaman keluarga tak jauh dari rumahku. Aku dan keluargaku pun kembali ke rumah, aku melangkah dengan kaki yang sedikit agak lemas. Sesampainya di rumah aku di bawa ke kamar oleh Revan, dan sebelum pulang dia memberiku sebuah amplop, dia tak memberitahukan aku sedikitpun apa isi dari amplop tersebut.
Isi surat Ibu…
“Selesaikan permainan ini sampai akhir yahh saying. Maaf Bunda tidak bisa menemani kamu. Semangat yah Reyneta, Bunda sayang kamu.”
~Bundamu tersayang~

Beberapa bulan kemudian …
                Hari ini tibalah saat yang mendebar – debarkan buatku dan teman – temanku di FKG. Yaps, hari ini adalah hari wisudaku, aku deg – degan karena tak sabar menantikan siapa mahasiswa terbaik tahun ini? Aku pergi bersama Ayah dan Revan, sebenarnya aku juga mengundang kakakku. Tapi, dia sedang memiliki pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan di luar kota. Jadi, aku mengikhlaskan kakak kesayanganku itu untuk pergi.
Tiba saatnya pengumuman …
                Namaku di panggil sebagai mahasiswi terbaik tahun ini aku senang sekali. Ini sebagai pembuktianku kepada Ibu bahwa aku bisa menjadi anak yang patut beliau banggakan.
“Bunda, meskipun Bunda tidak bisa menyaksikanku di sini. Tapi aku yakin di surga, Bunda pasti tersenyum untukku. Bunda aku janji aku akan jadi Dokter yang berbakti kepada Tuhan, Negara dan kedua orang tuaku, aku akan buat Bunda lebih bangga kepadaku. Bunda lihat, aku bisa menangkan permainan ular tangga ini sampai akhir, menjalankan segala tantangannya dengan baik. Makasih Bunda sudah memberiku semangat. Doamulah yang menghantarkanku ke gerbang kesuksessan. Aku saying kamu Bunda” kataku dalam hati ketika memegang tropi kemenanganku.
Beberapa minggu kemudian aku di panggil oleh salah satu rumah sakit Internasional dan diminta menjadi  Dokter gigi di sana. Selama beberapa tahun bekerja aku menerima upah yang tidak sedikit, sebagian dari kerja kerasku itu aku kirimkan ke puskesmas di Kalimantan, tempat mengabdiku dulu.

»»  READMORE...